Fiqih secara bahasa berarti “pemahaman”. Sedangkan secara istilah, fiqih adalah ilmu yang membahas hukum-hukum syariat yang bersifat amaliyah (praktis/perbuatan) yang diperoleh dari dalil-dalil syariat secara terperinci.
HUKUM SYARIAT AMALIYAH
Yang dimaksud dengan hukum syariat dalam fiqih adalah hukum syariat amaliyah, yakni khithāb Allah (seruan Allah) yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf. Jika khithāb itu berupa perintah, maka hukumnya wajib; jika berupa anjuran, maka hukumnya sunnah; jika berupa larangan, maka hukumnya haram; dan seterusnya.
Adapun yang dimaksud dengan orang mukallaf adalah seseorang yang memiliki akal sehat dan telah mencapai usia baligh. Dengan demikian, orang gila dan anak kecil tidak termasuk dalam kategori yang terkena khithāb hukum Allah.
Usia baligh bagi laki-laki adalah 15 tahun Qamariyah, atau lebih dari 9 tahun Qamariyah setelah mengalami mimpi basah. Sedangkan usia baligh bagi perempuan adalah 15 tahun Qamariyah, atau ketika telah mengalami haid pertama, dengan batas minimal usia haid mendekati 9 tahun Qamariyah kurang 15 hari.
Dalam ilmu syariat, hukum secara umum terbagi menjadi dua, yaitu hukum syariat amaliyah (perbuatan fisik dan perbuatan hati) dan hukum syariat i‘tiqādiyah (keyakinan).
- Fiqih mengkaji hukum syariat amaliyah yang secara mendasar terbagi menjadi lima, yaitu wajib, sunnah, mubah, haram, dan makruh.
- Hukum syariat i‘tiqādiyah (keyakinan) merupakan kajian dalam ilmu tauhid atau ilmu kalam, yang klasifikasi hukumnya hanya ada tiga, yaitu wajib, muḥāl, dan jāiz.
Dalam fiqih, wajib adalah suatu perbuatan yang jika dilakukan, maka pelakunya mendapat pahala, dan jika ditinggalkan, maka pelakunya mendapat dosa. Lawan dari wajib adalah haram, yaitu suatu perbuatan yang jika dilakukan, maka pelakunya mendapat dosa, dan jika ditinggalkan, maka pelakunya mendapat pahala.
Berbeda dengan wajib dalam fiqih yang berkaitan dengan perbuatan, dalam ilmu aqidah, wajib merujuk pada keberadaan (eksistensi) sesuatu yang ketiadaannya mustahil diterima oleh akal, seperti ruang bagi benda. Keberadaan suatu benda pasti membutuhkan ruang; akal tidak dapat menerima pernyataan bahwa suatu benda ada tanpa membutuhkan ruang.
Dalam hal ini, lawan dari wajib adalah mustahil, yaitu ketiadaan (non-eksistensi) sesuatu yang keberadaannya tidak mungkin diterima oleh akal. Dengan kata lain, sesuatu yang mustahil adalah sesuatu yang tidak dapat ada dan tidak mungkin terjadi berdasarkan akal sehat, seperti adanya suatu benda tanpa ruang atau adanya akibat tanpa sebab.
Selain wajib dan mustahil, terdapat hukum ketiga dalam ilmu aqidah, yaitu jāiz, yang merujuk pada sesuatu yang keberadaannya ataupun ketiadaannya sama-sama dapat diterima oleh akal, seperti keberadaan makhluk—makhluk bisa ada atau tidak ada sesuai dengan kehendak Allah.
DALIL-DALIL SYARIAT
Tunggu kelanjutannya..